Selasa, 19 Mei 2009

Epistemologi Ibnu Thufail

FILSAFAT IBNU THUFAIL DALAM KARYA HAYY BIN YAQDZAN

Semua pemikirannya terkandung dalam karya terbesarnya Hayy bin Yaqdzan. Yang mengisahkan tentang perjalanan manusia menapaki jalan spritualnya. Pencarian jalan yang benar dengan berbagai tahapan pengamatan dan tindakan. Hayy Ibn Yaqdzan mulai melakukan pencarian dengan memulai pengamatan-pengamatan inderawainya, kemudian rasio, dan ketiga batinnya. Sedikit demi sedikit Hayy mulai melakukan itu, mengamati fenomena yang ada di sekitar, binatang, bintang, gejala alam, yang kemudian jalan pada Sang Kebenaran ia temukan setelah melalui tahapan demi tahapan itu. Hayy berhasil menemukan esensi dari segala esensi yang ada.

Hayy Ibn Yaqdzan dilahirkan oleh seorang Puteri yang memiliki saudara seorang raja yang tiran. Sang raja yang mengutamakan kemegahan, melarang sang Puteri menikah sebelum ada jodoh yang sederajat dengan mereka. Namun, secara diam-diam salah seorang kawan raja, bernama Yaqdzan, mengawini sang Puteri. Dan sang Puteripun akhirnya hamil, dan kemudian melahirkan seorang anak laki-laki. Karena takut ketahuan sang Raja, maka sang Puteri menghayutkan anaknya ke laut pada sebuah peti. Peti itupun sampai pada pulau Waqwaq, sebuah pulau tak berpenghuni manusia. Peti yang berisi Hayy ibn Yaqdzan ini kemudian dihempaskan oleh air laut ke daerah dalam pulau, dan di situlah Hayy ditemukan oleh seekor rusa, yang kemudian mengasuhnya..

Selama tujuh tahun Hayy ibn Yaqdzan dirawat sang Rusa, dan belajar bagiamna cara berkomunikasi, meminta tolong, dan berbagai isyarat komunikasi baik dengan hewan lain maupun rusa yang mengasuhnya. Dari sini ia mulai belajar dengan pengamatan inderanya, melihat binatang lain seusianya yang nampak memiliki kelebihan muncul pada tubuh mereka. Hewan-hewan yang ada di sekitarnya dengan sendirinya memiliki alat-alat pertahanan ada pada tubuh mereka, rusa jantan dengan tanduk mereka, banteng juga dengan tanduk mereka, macan dengan taring dan kukunya, Elang dengan paruhnya, dan itu semua membuat Hayy ibn Yaqdzan kecil bertanya-tanya, kenapa dia tidak memiliki itu semua. Diapun belajar dengan melihat hal-hal itu, kemudian dibuatlah baju untuk menutupi tubuhnya dari sengat matahari yang awalnya berasal dari dedaunan, namun karena tidak dapat bertahan lama akhirnya dia dapatkan kulit hewan yang ternyata selain mampu melindunginya dari sengatan matahari juga mampu menahan dingin angin. Untuk pertahanan diri digunakannya tongkat untuk menghalau binatang buas yang hendak mengganggunya.

Pengetahuan Hayy bertambah lagi setelah secara tidak sengaja di dalam sebuah perjalanannya mengelilingi pulau ia menemukan api. Dari api itu ia dapat menghangatkan diri dan memperoleh penerangan di kala gelap melanda. Selain itu ia juga tahu bahwa api mampu menjadikan daging dan ikan menjadi lebih lezat setelah dibakar, mulailah ia selalu menggunakannya untuk memasak makanannya.

Ketika mengamati bahwa silih berganti apa yang ada di dalam ini kemudian musnah dengan sendirinya, disusul kematian rusa yang merawatnya, Hayy ibn Yaqdzan mulai menyadari bahwa alam ini tidak abadi, satu persatu semua akan berakhir pada ketiadaan. Ia menyaksikan bahwa segala eksistensi di alam ini bagaimanapun berbedanya ternyata mempunyai titik-titik kesamaan baik dari segi asal maupun pembentukan, maka ini mengarahkannya pada pemikiran bahwa segala yang ada ini bersumber dari subyek yang satu, dan kini dalam pikirannya telah terpatri satu zat tunggal yang diimani sebagai sang pencipta segalanya. Hayy menemukan Tuhan melalui jejak-jejak suci yang ditinggalkan-Nya.

Pengamatannya berlanjut pada benda-benda langit, bahwa matahari terbit dan tenggelam, demikian juga dengan bulan dan bintang, yang kemudian memunculkan satu tesis bahwa alam ini begitu teratur. Dan tentu ada dzat maha sempurna yang mengaturnya yang tentunya maha kekal dan tidak sama dengan alam semesta ini yang tiada abadi, hilang dan silih berganti mengisi waktu.

Kematangan mulai nampak pada diri Hayy ibn Yaqdzan saat ia berusia 35 tahun, ia mulai mencari kebenaran melalui pencarian melalu penelusuran ulang tentang cipta rasanya yang sudah-sudah. Ia mulai meraba-raba episteme mana yang membawanya pada kebenaran. Dan ia kemudia berkesimpulan bahwa, ia dapat mengetahui melalui tiga hal, akal dengan bantuan pencerapan indra, ruh, dan jiwa. Menuntunya pada tingkatan-tingkatan yang pernah dilalui sampai yang kini dijalani, maqam keindahan spiritual melalui pancaran cahaya ilahi.

Kisah inipun semakin menarik ketika datang Asal atau Absal dari pulau seberang ke pulau Waqwaq. Ia juga seorang salik layaknya Hayy ibn Yaqdzan yang tengah sibuk dengan meditasi dan menikmati ekstasi spiritualitas yang dijalaninya, mencari ketenangan dan memilih jalan hidup kesendirian. Asal atau Absal ini berasal dari sebuah pulau yang dipimpin oleh Salaman, sahabat Asal yang memilih hidup zuhud di tengah masyarakat dengan melakukan ritual keagamaan secara biasa, karena hal inilah Asal dan Salaman kemudian berpisah. Di pulau yang dikira Asal tidak berpenghuni ini, Hayy ibn Yaqdzan dan Asal bertemu pandang. Karena tidak mau terganggu Asal pun berlari dan bersembunyi. Hayy yang baru sekali seumur hidup melihat manusia lain dengan pakaian aneh yang dipakainnya, mengejar dan mencari Asal yang bersembunyi. Asal akhirnya tertangkap, melihat ada orang aneh dengan kekuatan yang luar biasa ia nampak ketakutan. Namun, Asal tetap mencoba berkomunikasi dengan Hayy yang dikiranya ingin berbuat jahat padanya. Dengan segala bahasa yang dimilikinya ia berkata pada Hayy ibn Yaqdzan, namun Hayy tidak memahami apa yang dikatakannya. Setelah tahu bahwa Hayy ibn Yaqdzan tidak bermaksud jahat dan tahu bahwa orang yang ada dihadapnnya tidak dapat berbahasa manusia, Asal sedikit demi sedikit memberi petunjuk menandai sesuatu dengan bahasa. Dari sinilah Hayy mulai belajar berkomunikasi, dan kemudian mereka saling bertukar pikiran tentang pengalaman mereka. Asal bercerita tentang kaummnya yang ada di pulau seberang yang hidup dengan cara hidup agama wahyu yang nampak adikodrati. Sedang Hayy menceritakan pengalaman hidupnya setelah lama hidup di pulau Waq-waq sendiri, dan ia bercerita pula tentang pencapaiannya pada cahaya cinta sang Illahi. Bahwa dengan pengamatan dan penalaran yang dilaluinya ia telah sampai pada maqam pencari kesejatian, menemukan apa yang dicarinya.

Merasa satu jalan dengan Hayy ibn Yaqdzan, Asal yang merasa bahwa apa yang dijalani oleh masyarakat di tempatnya haruslah dirubah, yaitu dengan jalan yang telah ditemukan Hayy ibn Yaqdzan. Ia ingin agar penduduk di kotanya memperoleh pencerahan seperti halnya Hayy ibn Yaqdzan memperoleh hal itu. Akhirnya mereka berdua memutuskan untuk berangkat ke kampung halaman Asal, menyebarkan ajaran agama yang ditemukan Hayy Ibn Yaqdzan, ajaran agama melalui penalaran dan penyelaman jiwa pada cinta Ilahi. Sesampainya di tempat Asal, mereka berdua mulai berdakwah menyebarkan ajaran yang mereka bawa. Namun segala upaya yang mereka tempuh tidak menghasilkan apa-apa, dan penolakan terhadap ajaran yang mereka berikan yang kemudian muncul. Akhirnya Hayy Ibn Yaqdzan dan Asal memilih kembali ke pulau Waqwaq, dan tetap meyakini bahwa ajaran yang mereka bawa memiliki nilai lebih dibandingkan sekedar ajaran agama wahyu yang ada di tempat Asal berasal. Kembali menjalani hidup suci di padang pengasingan kehidupan.

Epistemologi

Pencapaian pencarian seperti yang dialami Hayy ibn Yaqdzan dalam kisah yang diceritakan Ibn Thufail memiliki tiga jalan yang harus dilalui. Tiga jalan yang pada dasarnya bisa dilalui oleh setiap manusia yang telah dibekali Tuhan dengan akal dan jiwa dalam tubuh yang sama. Tiga jalan pencarian itu adalah:
  1. Indera (Empiris)

Meliputi panca indra yaitu penglihatan, pendengaran, perasa, pencium dan peraba yang merupakan alat untuk mengenali lima dimensi obyek yaitu obyek-obyek fisik yang terlihat, suara, rasa, bau-bauan, dan obyek yang tersentuh sekalipun begitu indrawi masih mempunyai kelemahan karena ia terkadang tidak bekerja secara sempurna, bahwa indera dapat dengan mudah tertipu dengan karena tiap indera memiliki kemampuan terbatas dalam mengidentifikasi objek, maka di sinilah dibutuhkan sumber pengetahuan lain.

Contohnya pada saat dia melihat hewan-hewan yang ada di sekitarnya dengan sendirinya memiliki alat-alat pertahanan yang ada pada tubuh mereka, seperti rusa jantan dengan tanduk mereka, banteng juga dengan tanduknya, macan dengan taring dan kukunya, Elang dengan paruhnya, dan itu semua membuat Hayy bin Yaqdzan kecil bertanya-tanya, kenapa dia tidak memiliki semua itu? dia pun belajar dengan melihat hal-hal itu, kemudian dibuatlah baju untuk menutupi tubuhnya dari sengat matahari yang awalnya berasal dari dedaunan, namun karena tidak dapat bertahan lama akhirnya dia dapatkan kulit hewan yang ternyata selain mampu melindunginya dari sengatan matahari juga mampu menahan dingin angin. Untuk pertahanan diri digunakannya tongkat untuk menghalau binatang buas yang hendak mengganggunya.


2. Akal (Rasio)

Akal yang dengan daya penalarannya mampu mengabstraksikan suatu obyek yang karena itu ia mampu mengetahui seluruh profil dari suatu obyek. Selain ia juga mampu menangkap esensi dari obyek yang di pahaminya dan di amati oleh indrawi dengan demikian akal atau rasio bersifat melengkapi indrawi. Pengetahuan yang dicapai oleh akal memiliki validitas yang lebih dibanding dengan indera, bahwa rasio mampu melampau objek, ruang, dan waktu. Dalam tahapan ini Ibn Thufail menggambarkan bahwa Hayy Ibn Yaqdzan mencoba melakukan apa yang ada dalam pengamatannya terhadap benda-benda langit. Ia mulai berputar-putar, mengelilingi pulau, tempatnya tinggal, dan juga berputar pada dirinya sendiri. Ia mulai memikirkan bahwa ada satu subjek yang dapat memberinya pencerahan, dan ia dapat melihat itu pada jejak-jejak-Nya di alam ini. Hayy mulai merasionalkan segala keteraturan dan ketiadaabadian alam ini. Ia melihat rusa yang mengasuhnya nampak semakin tua dan kemudian mati, hewan yang lain juga sama, ia juga memikirkan peredaran matahari yang selalu muncul dari Timur ke Barat setiap hari. Dari sinilah ia menemukan satu entitas pencipta dan pengatur segalanya, sang Causa Prima.

Namun sayangnya, kemampuan akalpun terbatas, akal tidak mampu misalnya menjelaskan dirinya sendiri secara jelas, akal juga misalnya tidak dapat menjelaskan mengapa manusia dapat menangis sejadi-jadinya ketika melihat kekasihnya mati. Atau akal tidak dapat mengenali sang Causa Prima itu, akal hanya mampu mengetahui-Nya melalui jejak-jejak yang ada, akal belum mampu membawa manusia pada pertemuan manusia pada sang Penciptanya. Maka dari itu, manusia pada dasarnya dibekali Tuhan dengan intuisi.

3. Intuisi

intuisi menurut Ibn Thufail mampu menangkap esensi dari pengetahuan sejati yang merupakan wilayah metafisika dengan cara penyucian jiwa, seperti halnya Hayy Ibn Yaqdzan yang dalam tahap akhir pencarianya menemukan esensi dari segala esensi yang ada. Hayy melalui riyadah perjalanan spiritual menemukan identitas kesejatian yang menyelimuti alam semesta. Dia tenggelam dalam identitas kesejatian itu, menikmati pancaran cinta yang ada menyertainya.


Filsafat Sejarah Augustinus

Augustinus tidak mempercayai bahwa sejarah adalah suatu siklus. Sejarah lebih dari itu; ia merupakan kejadian yang di atur oleh Tuhan. Jadi sejarah sebenarnya mempunyai suatu permulaan dan mempunyai akhir. Permulaannya ialah saat kejatuhan manusia, dan akhirnya ialah saat kemenangan Tuhan mengatasi kejahatan. Filsafat seperti ini adalah filsafat yang dibimbing oleh teologi. Sejarah tidak dapat dijelaskan dengan memperhitungkan faktor-faktor ekonomi, sosial, politik; sejarah dapat dipahami menurut hukum-hukum Tuhan